halaman

Rabu, 23 Juni 2010

(pem)Belajar(an)

Banyak orang bilang belajar itu perlu waktu dan gue yakin itu. Bahkan waktu itu tak terbatas, belajar sampai kapan pun. Bahkan sampai waktu terakhir tiba.


Banyak cara buat belajar. Banyak jalan menuju kesana, sekali pun jalan itu sempit bahkan terjal. Banyak orang yang menghabiskan hidupnya untuk belajar. Belajar bukan milik bangku sekolahan semata, itu hanya salah satu bagian saja dari cara buat belajar.


...


6 tahun di sekolah dasar belum cukup untuk menyerap pembelajaran makanya di butukan 3 tahun di sekolah menengah dan 3 tahun lagi di tingkat atas. Sudah cukup kah ? ternyata ada jenjang selanjutnya; bangku kuliah. Kalau di total kurang lebih 16 tahun mengikuti rutinitas belajar di bangku akademis. Apa pun itu mesti di jalani. Nyatanya belajar tak cukup sampai disitu.


16 tahun belum cukup mengantarkan manusia menjadi orang yang "terpelajar". Kadang kita lupa selama itu belajar namun masih saja bingung saat soal-soal kehidupan datang. Jawaban akan persoalan itu begitu rumit untuk dicari. Lucu memang... tapi begitulah.


Belajar lewat kesalahan juga penting apalagi belajar lewat hal yang benar.


....






Gue terus belajar, kadang merasa belum ada apa-apanya. Manusiawi, merasa belum juga cukup. Namun itu lah yang terjadi, semakin tahu semakin tidak tahu.


Perlu belajar lagi. Mengulang pembelajaran yang dulu di dapat, kalau ga di ulang malah menguap dan otak jadi tumpul. Belajar saat-saat kritis menghampiri, melewati dengan rumus yang pernah di dapat. Bahkan menganalisa kembali apakah rumus itu masih tepat, mencoba merumuskan kembali lewat tambahan pembelajaran yang di dapat.


Mungkin dari sekian itu banyak pembelajaran yang juga gagal di cari jawabannya. Tetap tidak terisi. Apa gue goblok ya? kok lagi-lagi ga ketemu jawabannya?


Dulu temen gue berkata bijak "lebih baik punya pertanyaan, dari pada punya jawaban". Gue suka menenangkan diri gue dengan perkataan itu. Biarlah gue ga punya jawaban tapi gue masih bisa bikin pertanyaan-pertanyaan.


Kenapa gue ga bisa-bisa juga menyelesaikan soal ini ?


....


Melatih diri lebih keras dan rendah hati itu yang buat gue terus semangat mencari jawaban dari soal-soal itu; kehidupan.


Pekerjaan, permasalahan sosial, kekerabatan, percintaan mungkin cuma bagian kecil dari kehidupan. Melawati itu tanpa belajar rasanya menjadi sia-sia.


Gue merasa masih jadi murid yang terus belajar dari kekalahan. Pahit memang, tapi begitulah...


Belajar dulu ah, sambil ngopi.

Senin, 21 Juni 2010

Makna yang agung.



Ketika makna pernikahan ada.
Untuk menjalin ikatan dan menyempurnakan keyakinan beragama kita.
Tanpa embel-embel, niat suci
dan berjanji pada pencipta.


Tanggung jawab itu dimulai; dengan penuh kasih.


....


"Waduh, ga bisa nikah ngelakahin Kakak !" Teriak seorang Kakak pada adiknya. Paradigma yang ada di tengah masyarakat kita. Entah dari mana dimulainya. Mitos bahwa si Kakak akan seret jodoh kalau si adik menikah lebih dahulu dari dia.


Tiba-tiba manusia malah bikin susah dirinya sendiri. Niat baik malah di halangi... Padahal tau kalau Jodoh itu bukan kita yang memberikan.


Tidak berhenti di situ saja, ketika pernikahan menjadi arena penunjukkan status sosial. Bentuk kemapanan dan penunjukan pencapaian keluarga. Pernikahan dihiasi gemerlapnya keduniawian. 
Betul hari itu (pernikahan) menjadi hari yang penting dalam setiap manusia, manusiawi sekali. Pada akhirnya makna itu seperti memudar. Merasa tidak pantas jikalau mengundang tamu dengan ala kadarnya. Merasa tidak menghargai tamu yang datang kalau saja hari itu tidak gemerlap. Gedung yang layak, hidangan yang melimpah, dekorasi yang megah, perhiasan dan make up yang mahal... sungguh itu baru sebagian dari pernak-pernik gemerlapan pernikahan yang ada di masyarakat kita.


Tidak salah memang berbuat sebaik mungkin, namun perlukah itu hanya untuk menunjukkan ke eksistensian?


Satu lagi yang saya ingat, pernikahan di batasi oleh asal muasal. Dari mana dan siapa keturunannya. Mau di bilang itu kolot banget, kenyataannya itu masih bercokol di tengah-tengah masyarakat. Sungguh kita merasa bahwa perbedaan itu tidak layak untuk ada. Bahkan saat itu kita lupa arti dari saudara dan manusia itu sendiri.


....


"Saya nikahkan anak saya .... "


Itu hanya kata-kata, saya yakin itu. Namun ketika kita meyakini itu adalah janji antara kita dan pencipta kita, maka itu tidak sekedar kata-kata yang menderas dari mulut saja.


"Saya terima nikahnya ....."


Itu janji si Pria kepada penciptanya dan pertanggung jawaban dia dengan bapak si perempuan. Sesederhana itu ikatan suami-istri terjalin, tentu lewat ahli nikah disana. Kok ya sekarang ini jadi tidak sesederhana itu ??


....


Kita merasa penting unutk membuat hari itu begitu berharga. Hiasan bukan lagi kiasan.
Orang yang datang bukan lagi mengirimkan doa; mereka hanya memberi selamat dan mencari celah-celah keduniawian.


Jepretan foto bukan hanya sebagai pengabadi waktu diakan datang, kini menjadi kewajiban.


Merasa itu semua hanya sebagai pelengkap bagi gue, makna yang agung tentang pernikahan sepertinya meluntur.




“Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)


....


Sungguh banyak hal yang saya tidak tahu. Keterbatasan tentang memahami dan mengecap itu semua. 


Namun banyak hal yang saya sulit untuk mengerti tentang makna pernikahan yang agung dengan makna pernikahan yang ada kini. Percampuran budaya dan moderenisasi malah membuat yang sunah menjadi wajib. Wajib menjadi sunah.


Semoga kita selalu dalam lindungan-Nya.