halaman

Minggu, 27 Februari 2011

Baju

Dengan baju putih dokter terlihat sebagai dokter. Baju coklat menjadikan PNS terlihat sebagai abdi negara. Baju bermotif loreng menempatkan ABRI sebagai angkatan di tengah masyarakat.



Berdasi dan berpakaian rapi memberikan kesan sebagai orang yang bekerja di perkantoran. Satpol PP dengan bajunya terlihat garang. Dengan topi haji, baju koko dan sarung memberikan impresi religius.

Seandainya segala atribut itu dilepas. Status sosial dalam masyarakat seharusnya tetap ada. Karena baju hanya atribut. Melengkapi dan mencirikan saja. Sesungguhnya semua menjadi sikap dan pilihan peran dalam masyarakat. Bukan dari bajunya...



Kenyataannya orang akan lebih "merasa" ada saat atributnya di kenakan. Baju tidak lagi sebagai pelindung dari cuaca dan atribut melainkan menjadi pencapain tingkat sosial.

....

Apakah sikap akan pilihan ini ada karena kostum-kostum ini?

Gue ga menyangkal dalan sebuah instansi, lembaga ataupun profesi di butuhkan citra yang tervisualkan dari apa yang dikenakan. Jadi terlihat pantas dan spesifikasinya jelas. Namun sekali lagi apa itu menjadi masiv nantinya?

Dokter akan tetap menjadi seorang dokter yang utuh ada atau tidak baju putihnya. Satpol PP tetap menjadi garang tanpa bajunya. Religius sesorang tetap ada walaupun tanpa topi haji dan baju koko.

Manusia akan lebih "merasa" ada saat itu dikenakan.

....

Baju itu didapat lewat perjuangan dan biaya yang tidak sedikit. Kadang berkoban dan menyampingkan segala moralitas. Baju adalah pelengkap tingkat sosial.

Baju ada identitas si pemakai dengan apa yang ia capai. Baju menjadi alat eksistensi.

Saat kita lahir dan kembali kepadaNya baju itu akan tanggal begitu saja... Karena tuhan tidak melihat identitas dari baju.

wallahualam.


Tidak ada komentar: