halaman

Kamis, 11 November 2010

Terkubur sampai dubur (1)

Jakarta punya cerita, kota yang terus berkembang. Deras dengan asupan kebarat-baratan, tepatnya ala kebarat-baratan. Sayangnya hanya mengambil kulit luar tanpa mengambil saripatinya. Jakarta dan kaumnya masih terjebak sama mentalitas yang sudah lama bersemayam, paling tidak mitos jam karet masih setia bagi kaum-kaumnya.

Sebutan metropolis mungkin hanya pembentukkan citra saja, ketika kota ini ingin dibuat menjadi lebih dari kota Indonesia lainnya. Menjadikan Jakarta setara dengan ibukota di dunia, kota penuh kesibukkan dan kegemerlapan. 

Banyak yang rela berjibaku dan datang demi mengais mimpi. Stoop sampaai situ !

Gue mau mulai dari yang kecil, entah apa namanya. Apa kaum di Jakarta masih manusia. Manusia dalam arti sesungguhnya. Pengertian sederhana manusia "punya akal". Jakarta dengan jalan yang luas dan bertingkat tapi bukan macet yang bikin gue ngeri. Malah kaum-kaumnya (orang)  yang bisa bikin gue terus nelen ludah. 

Ga sabar, ga ada toleransi dan ga ada yang berakal. Rasanya mobil dan motor yang banyak cuma alat mereka menonjolkan rasa ga sabar itu. Saling salip
saling ga peduli
saling teriak-teriak
saling balap tanpa ada aturan

Itu mentalitas bukan kesalahan motor dan mobilnya, tapi emang kaum-kaumnya sudah sedemian akutnya. 
Hampir semua lini mental ini merasuk, di setiap kesempatan mereka akan sibuk memamerkan mentalitas ini; persis kaya manusia purba.

Pasti jarang banget menemukkan orang ramah dijalan-jalan Jakarta. Orang-orang yang rela memberhentikan kendaraannya demi orang lain yang lebih dulu. Melihat pemandangan orang tua yang berdiri di angkutan terus dipersilahkan duduk sama anak muda. Pemandangan orang salinge tersenyum saat dibantu dan membantu.

Senyum sudah punah di kota ini.

Masih ada yang sanggup tersenyum sementara setiap hari teriakan klakson memekakan telinga.

Tidak ada komentar: