halaman

Senin, 31 Agustus 2009

Denting di malam ini

Temani sudah aku dalam perbincangan di malam ini, setengah kopi mampu membuatku terjaga. Apa arti senyumanku ini? Aku tidak dapat menjelaskan. Sampai pada malam yang berkeringat, basah sudah baju ini. Lewat sudah.

Aku melihat mereka, melihat air mata yang mebasahi sajadah di setiap pagi hari. Aku hanya diam saja. Mengumpat, dalam. Aku menyaksikan cinta dan ketiadaan begitu sempit. Aku tak bisa berkata, hanya sepi... Aku menyayangi tapi menguatkan hati untuk memngacuhkan. Tetap tak bisa.

Satu riwayat, aku merindu. Bunda jauh di seberang sana, aku rindu di belai. Aku tau ini inginku, ia bisa tenang disana. Aku mampu melewati malam ini dengan rintihan rinduku yang mendalam. Tak sadar hati ku pun merindu kakakku, maafkan aku. Maaf.

Ayahku tahu anaknya tumbuh dengan kedewasaan tak bertuan. Ia pun tahu anaknya tak dapat berjalan di jalur yang ia susun dulu. Ia mungkin menangis untukku kini.

...

Aku juga masuk ke gua, menutup diri darinya. Tak bertegur sapa. Aku terus berfikir dalam setiap tombol yang ku kunyah. Aku di antara kegelisahan. Aku berpulang padanya, pasti. Aku berusaha mengalahkan amarahku yang meradang, membenamkan ke terusikkanku. Tak seharusnya begini. Aku seperti anak lelaki yang rentan. Kaki hanya satu, tak mampu berlari kencang.

Aku rindu, aku harus menemuinya untuk mengatakan maaf. dan mengakui lemahnya aku. Berat memang, tapi tak berlanjut saat semuanya hanya diam dalam gua ini.

...

Berat dada ini saat malam makin meninggi, lewat lah... Jemu dalam mimpi. Rasa hati melawannya, rasa ini seandainya mendewasa bersama umurku. Aku terkapar melawan rasa ini.

Tidak ada komentar: