halaman

Rabu, 12 November 2008

Format Ulang

Sepi memang, tak bergeming.
Setelah kereta itu pulang mengantar senyuman memaksa dari kantor.
Rindu bukan main saat wajah-wajah bengis mereka ditutupi mata remeh-temeh itu.

Semua datang saat matahari terbenam, senja itu. Lembayun itu,
masih menatapku di ujung sana. Sekuat apapun akhirnya ia
meringis. Bukankah kita memang kecil? Iya memang kecil. Saat semua baju itu terlepas,
semuanya terbuka lebar. Mendekati setiap kesombongan ini.
Parah!

Lalu masuk ke bumi, disela-sela pesta kembang api di tahun baru.
Suka cita tak berbekas.
Kau pun berdiri disana, tepat di belakangnya sambil melambaikan sapu tangan
warna kemerahan. Seperti senja.
Suara-suara itu memekakan telinga dan senyum pahit mereka, tetapi masih saja bisa tertawa
sambil mengunyah harapan ini.
Sesekali terlihat mata bengis itu. Menatap lurus ke dada yang hampa tak bernyawa.

Waktu begitu memihak kini, tak lagi seperti waktu itu.
Membaik atau mungkin mengeras.

Mengeras...


Mengeras...

...ras


...as

....

Lalu bunyi sirine membelah kesunyian, siapkah lilin itu untuk ditiup dalam temaram lampu
pesta putih. Beranjak dan merangkai susunan yang baru lagi.
Frame baru, Komposisi yang lain dalam lembar yang abu-abu.

Lagu itu terus saja mengecil, padahal volumenya terus saja dibesarkan.
Kenapa?
Waktu itu tatapanmu tak pernah kosong wahai senja diujung sana?
Lunglai...

Tidak ada komentar: